Monday, October 3, 2011

150 Tahun Lebih Kekristenan di Tanah Batak

Saya harap, seluruh jemaat, bila memang dia sebagai jemaat HKBP agar meninggalkan segala bentuk kepercayaan duniawi, seperti begu ganjang dan bulle-bulle. HKBP di usia ke-15o tahun, jemaat harus lebih kuat dalam menghadapi berbagai dinamika hidup serta kedewasaan tersebut harus mampu menjaga warga HKBP untuk melayani dan bukan dilayani” , demikian ucap Pdt. DR. Bonar Napitupulu (Ephorus HKBP) pada perayaan Jubileum HKBP wilayah I, di Seminarium Sipoholon, Tapanuli Utara pada hari Minggu 2 Oktober 2011.

Kekristenan telah menjamah tanah Batak lebih dari 150 tahun, tetapi memang kepercayaan duniawi masih melekat di tanah batak. Dualisme kepercayaan masih banyak ditemukan baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam. Tidakkah cukup 150 tahun untuk merubah itu semua? Ternyata tidak cukup. Apa karena bangsa batak adalah bangsa yang keras kepala atau karena bangsa yang memiliki rasa cinta yang kuat terhadap budayanya? Tidak, itu bukan jawabannya. Mungkin jawabannya adalah karena ketakutan kita akan kemiskinan dan tidak totalnya kita percaya atau mungkin ada faktor lain. Bukan juga karena kurangnya pendidikan, karena orang batak paling menghargai pendidikan. Jadi kenapa masih banyak kita yang memiliki kepercayaan sampingan disamping tertulis di KTP sebagai Kristen. Mungkin ada yang berkata itu hanya terjadi di pedalaman tanah batak saja karena tingkat pengetahuan dan pendidikan yang dangkal, tetapi kenyataannya tidak. Orang batak yang merantau ke daerah yang lebih maju dan yang sudah mengecap pendidikan tinggi pun masih dijumpai memiliki kepercayaan kepada “begu ganjang” dan “bulle-bulle”. Pulang ke kampung halaman untuk mengadakan pesta pemanggilan roh-roh leluhur yang nyata-nyata salah ditinjau dari segi Kekristenan. Ada pula yang sukses di perantauan mengadakan pembangunan di kampung halamannya, tetapi apa yang dibangun? Membangun atau merenovasi “tugu” alias kuburan leluhur mereka, sesudah itu mengadakan pesta-pesta meriah yang berlangsung berhari-hari, menghabiskan dana di media untuk iklan tentang itu agar semua orang tahu bahwa mereka membangun sesuatu yang megah di kampung halamannya, bahwa mereka sukses dan membangun kampung halamannya dan bahwa dia orang yang beradat. Maaf, saya bukan orang yang anti adat, saya juga ikut serta berperan dan menghargai adat. Saya pernah dengar istilah bahwa orang batak lebih takut disebut tidak beradat daripada tidak beragama, benar atau tidak mari kita orang batak tanya hati kita masing-masing.

Mari kita bangun kampung halaman kita bukan dengan membangun tugu ataupun kuburan-kuburan yang megah, tetapi mari bangun di berbagai bidang seperti pendidikan, sarana dan prasarana, karena itu bukan semata-mata tugas pemerintah saja. Mari kita bangun moral dan akhlak generasi batak selanjutnya dengan berbagai hal seperti beasiswa pendidikan, seminar-seminar dan pengarahan atau juga bisa membuka usaha kecil menengah yang akan membuka lapangan kerja agar generasi kita tidak hanya ingin merantau dan meninggalkan kampung halaman kita yang kita tidak sadari memiliki potensi.

Apa yang harus kita dirubah dari kita? Pola pikir. Kita harus merubah pola pikir kita tentang apa yang kita percayai harus total kita percayai. Kita harus merubah pola pikir kita bahwa  kemasyuran dan kebanggaan tidak harus ditunjukkan dengan kemampuan kita membangun tugu atau kuburan besar dan megah, yang tanpa kita sadari hal itu telah membuat kita penyembah berhala.

Mari kita buang segala “bulle-bulle”, “begu ganjang” dan juga keegoisan kita demi totalitas kepercayaan kita kepada Kristus sebagai orang Kristen dan juga demi kemajuan bangsa Batak agar dihornati dan diakui keberadaannya.

No comments:

Post a Comment